16 Agustus, 2009

Pelajaran Berharga dari Desa Pindol Kec. Lolak Kab. Bolaang Mongondow (Bolmong) Sulawesi Utara


“Jangan lupa tali rafia juga di bawa….buat apa? Ntar kita buat jadi penghubung dalam permainan jaring-jaring kehidupan. O…kirain buat apa. Yah…kan gak apa juga dibawa. Pasti ada aja perlunya. Ok sip…dah didalam mobil semua. Coba check list ulang. Genset, multimedia proyektor, layar kain, wireless microphone, minyak bensin buat genset, kabel-kabel. Apalagi yah kira-kira….



Ini sebagian percakapan menjelang keberangkatan kita ke lokasi target sasaran Awareness program. Program ini merupakan salah satu program yang sedang di jalankan kawan-kawan dari Wildlife Conservation Society – Sulawesi Program (WCS). Dan program ini bekerjasama dengan CTRC (Conservation Training & Resource Centre) bogor serta Yayasan Rimbawan (LSM lokal Kotamobagu).



Hari Kamis tanggal 19 Maret 2009 yang lalu, kita berangkat menuju Desa Pindol Kecamatan Lolak, Kabupaten Bolaang Mangondow (Bolmong) Sulawesi Utara. Desa ini berbatasan dengan Taman Nasional Bogani Nani Watabone, Salah satu Taman Nasional yang terdapat di Sulawesi Utara. Terdapat dua Taman Nasional di Sulawesi Utara. Yaitu Taman Nasional Bogani Nani Watabone dan Taman Nasional Bunaken.

Secara geografis, desa Pindol terletak tepat berbatasan dengan Taman Nasional Bogani Nani Watabone. Dengan jumlah penduduk 700 KK menjadikan desa ini terbagi atas dua dusun. Sektor pertanian menjadi pendapatan utama dari masyarakat desa yang berada pada ketinggian 70-80 mdpl ini. Mayoritas penduduk beragama Islam dan terdapat satu buah SD negeri dan satu buah SMP Negeri. Yang sangat memprihatinkan adalah keterbatasan guru di desa Pindol tersebut. Jumlah siswa SD negeri Pindol sekitar 200 anak dan hanya memiliki 2 orang guru, dimana salah seorang gurunya juga menjabat sebagai Kepala Sekolah SD. Sementara jumlah siswa SMP negeri Pindol sekitar 60 orang anak dan hanya memiliki 2 orang guru, dimana salah satu gurunya juga menjabat sebagai kepala sekolah SMP negeri. Tragis memang kehidupan sekolah didesa Pindol ini, dimana jaman yang sedang pesta korupsi dan biaya pendidikan yang sangat mahal. Apakah sedemikian tragisnya siswa-siswa sekolah di desa pindol ini? Sampai-sampai tidak ada guru yang tertarik untuk mengabdikan dirinya pada desa pedalaman? Apakah Omar bakri hanya cerita dalam narasi lagu seorang “Iwan Fals”…tragis…sunguh tragis….Yang paling membuat saya bingung dengan keputusan pemerintah untuk membebaskan biaya sekolah apakah berarti buat mereka yang kekurangan tenaga pengajar?

Belum hilang kesedihanku melihat nasib yang dilanda sekolah di desa Pindol tersebut, ternyata masyarakat juga sangat tidak jauh berbeda nasibnya dengan para siswa yang tidak mempunyai guru. Kehidupan masyarakat mayoritas adalah petani sawah dan kebun. Banyak persoalan yang dihadapi mereka, tapi apa daya…karena keterbatasan yang mereka miliki menjadikan mereka pasrah akan keadaan yang dialami pada saat pertanian dan perkebunan mereka di serang hama. Sementara penyuluh pertanian yang diharapkan hanya datang 3 kali dalam setahun. Itupun hanya sekedar melihat situasi sambil membuat laporan singkat, seakan-akan penyuluh tersebut rutin datang memberikan penyuluhan di desa tersebut. Sebegitu parahkah pemerintahan kita sekarang ini, sampai mengabaikan tugas utama mereka yang seharusnya melayani masyarakat? Apakah ini memang fenomena di tanah air tercinta ini? Aku tidak mampu berbuat banyak. Hanya bermodalkan ilmu yang kumiliki, sedikit menghibur masyarakat dan siswa sekolah di desa ini. Seandainya aku masih diberi kesempatan, aku akan membagi kebahagianku dengan mereka. Harapanku semoga aku bisa menghibur mereka.



Affan Surya
MU 003 IST

Tidak ada komentar: